Terkadang dalam hidup, kita harus melewati saat-saat buruk dan sulit. Tidak hanya kita merasakan saat-saat bahagia bersama keluarga. Ada masa kita kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam kehidupan kita. Seseorang yang selama ini tanpa sadar dia adalah orang yang sangat menyayangi kita sebagai anaknya dengan tulus, dia yang rela melakukan segalanya untuk kebahagiaan anak-anaknya. Tanpa peduli itu hal yang membuat dirinya rendah dimata orang lain. Akan tetapi perjuangan dan jasa-jasanya, dan juga pengorabanan dan kasih sayangnya yang tiada batas dan pamrih. Dia yang menjaga keutuhan dan kehormatan keluarga dikala hujan dan panas. Dia lah ayahku, ayah yang selama ini aku sering melawan kata-katanya. Tanpa sadar aku telah menyakiti hatinya, hingga air matanya berurai oleh sikap jahatku yang tak tau diri sebagai seorang anak. Kini dia telah pergi menghadap sang kuasa. Ayah pergi setelah ia mencoba bertahan dari sakit yang dideritanya. Ayah, yang selama ini tahu dan mengerti bagaimana aku sesungguhnya. Ayah, tanpanya lagi dalam kehidupan kami, semuanya jadi berubah. Meskipun dulu ada penderitaan yang kualami saat kebahagiaan kami bersamanya, tak kurasakan seberat ini saat dia telah tiada.
Dan orang yang ku sebut itu ibu dalam kehidupanku, tak pernah mau mengerti bagaimana aku. Aku tak tahu, apakah aku yang tak tahu diri sebagai seorang anak, ataukah dia yang tak bisa menghilangkan egonya untuk kebahagiaan nya sendiri? Tanpa mempedulikan nasib anak-anaknya? Dia lah orang yang membuat ku bingung dalam menghadapi semuanya. Dengan semua kata-kata manisnya, janji-janji busuk, dengan keangkuhan, dan kebodohannya, kini ia telah dengan mudahnya menerima orang lain dalam kehidupan kami. Aku kecewa saat ia memberitahukan akan ada yang lain yang akan menjadi bagian dari keluarga ku. Aku kecewa karena belum genap ayahku setahun pergi, dia berani menerima orang lain dengan mudahnya. Dan parahnya, lelaki itu juga masih mempunyai seorang istri yang sah. Tak bisa ku bayangkan bagaimana sakit dan perihnya nanti istri pertama dari lelaki itu. Yang aku tau didunia ini sangat jarang ada wanita yang merelakan suaminya untuk berbagi kasih dengan wanita lain. Apalagi dia adalah seorang wanita yang tidak bisa memiliki keturunan. Aku tahu dia sangat terluka. Apalagi hubungan mereka itu tanpa persetujuan dari wanita itu. Aku menangis, aku menolak meskipun aku tak berani untuk bicara dan melawannya. Karena aku belum mampu untuk melakukan itu. Aku masih seorang anak yang butuh segalanya dari seorang ibu yang kini hanya tinggal satu-satunya sebagai orang tua. Aku sungguh tak mampu. Aku tidak bisa membayangkan entah bagaimana nasibku kedepannya. Dan suatu hari, hubungan itu terjalin. Dia, lelaki yang kini menggantikan posisi ayahku, malah menghancurkan segalanya, bukan malah memperbaiki segalanya. Dia lelaki pengecut yang pernah aku temui. Dan dengan bodohnya ibuku termakan rayuan dan janji manis lelaki pengecut itu. Aku kecewa, sangat kecewa! Tidakkah ia sadar bahwa atas perbuatannya dengan lelaki itu, dia telah mengorbankan nasib anak-anaknya, kebahagiaan anak-anaknya. Dia lupa bahwa ia ingin menikah lagi hanya untuk anak-anaknya. Dia lupa. Malah kini yang terjadi adalah sebaliknya. Terutama aku, aku seorang anak perempuan yang belum tahu dan mengerti apa-apa. Meskipun umurku sudah terbilang bisa mengerti dengan keadaan ini, tapi ini sangat sulit aku terima, sangat sulit aku menjalani. Sangat sulit, apalagi disaat aku mengingat keadaan seperti ini, aku ingin melihat wajah ayah ku lagi. Ayah ku yang tak bisa aku lupakan semua kenangan kasih dan sayang yang selama ini dia berikan. Aku ingin dia mengerti aku sebagaimana ayah mengertiku dulu. Namun kenyataan berkata lain. Aku tahu bahwa akan ada hikmah dibalik semua ini, tapi saat ini aku merasakan kesulitan. Aku bingung. Aku tak tahu harus berbuat apa. Saat sendiri, aku terus menangis meratapi nasibku. Meskipun ku tahu tangisanku tiada gunanya.
Begitu juga dengan adikku. Aku kasihan melihatnya. Dia sudah terlalu banyak mengalami penderitaan hidup. Dari semenjak aku SMA, dia sering ditinggal sendiri dirumah, dia menahan kesepiannya sendiri disana. Tak ada lagi orang tempat berbagi yang bisa menemaninya kapanpun disana, yaitu aku. Dulu aku aku lah tempat berbaginya. Meskipun kami sering bertengkar akan hal-hal kecil, tapi sebagai seorang adik kakak, kami juga merupakan kakak adik yang kompak dan seiya sekata. Sungguh adikku yang malang. Dan selama ini dia telah menderita berbagai macam penyakit karena ia sering memendam masalah dalam dirinya. Selama ini dia yang sering bolak-balik ke rumah sakit. Entah lah... sejak ibu ku menikah dengan lelaki pengecut itu, adikku ku juga terjatuh. Dia juga mulai tak tahu arah. Bahkan dia yang jadi korban utama dari hubungan mereka yang aku tak mengerti apakah itu jalan yang benar atau tidak. Aku sangat kasihan padanya. Tapi sekarang malah dia, adikku, yang menguatkan ku. Aku tahu seharusnya akulah yang menguatkan nya dalam masalah ini. Tapi dari dulu aku yang paling dimanjakan oleh ayah. Apa yang aku mau ayah selalu berikan. Ayah selalu melakukan sesuatu yang membuat aku tertawa. Aku bahagia dan aku bangga mempunyai seorang ayah seperti ayahku. Meskipun aku sering melawan ayah, tapi sangat sayang sama ayah. Ayah tak pernah dendam, ayah tak pernah kenal lelah, ayah orang yang tanpa mengenal pamrih, rela berkorban demi anak-anaknya, ia selalu menunjukan kekuatannya dan kesabaran sebagai seorang ayah didepan istri dan anak-anaknya. Pokoknya tetap ayah yang terbaik dulu, sekarang, dan selamanya.
Terkadang aku iri dengan keluarga orang lain. Dan parahnya mereka itu adalah bukan orang asing bagiku. Mereka juga bernasib sama denganku, tapi bedanya mereka merasakan lebih dulu kebahagiaan itu daripada keluargaku. Itu yang membuat ku tak berdaya. Aku iri dengan mereka. Aku selalu teringat kebahagiaanku saat ayahku masih ada. Aku iri. Dulu ayahku selalu memanjakanku. Jika aku ingin, ayah selalu berjuang untuk memenuhi keinginanku. Tapi kini? Kini semua telah berbeda. Sangat berbeda. Malah seorang ibu yang harusnya lebih mengerti aku, tapi dia malah tidak peduli bagaimana aku. Dia tidak peduli dengan kondisiku, perkuliahanku, semuanya. Dia hanya tahu, setiap bulan dia memberi biaya hidupku. Dan selebihnya? Dia tak tahu, dan entah kapan dia akan tahu? Bahkan saat dia tahu aku menderita sakitpun, dia masih tak menunjukan kepeduliannya.
Kadang aku berfikir, pantaskah aku menyebutnya seorang ibu? Aku tak tahu bagaimana bisa aku berfikiran sekeji itu, tapi dia yang membuat aku seperti ini. Aku benci dia telah membuat aku seperti ini. Aku benci!!! Aku benci!!! Kadang aku ingin lari dari kehidupan ini, tapi itu salah!! Yang benar adalah aku harus menghadapinya. Aku harus sabar dan tabah menerima semua ini. Aku harus belajar untuk ikhlas menerima keadaanku yang sekarang. Karena ini adalah ujian, aku tau. Tapi itu tidak mudah bagiku. Sangat tidak mudah bagiku. Aku lemaaah... aku lemah.. :’(
Aku tak tahu sampai kapan aku akan begini. Kapan aku akan kuat??? Aku pun mulai mengorbankan perkuliahanku. Aku mulai bolos kuliah. Bahkan tugas-tugaspun terbengkalai. Aku tak tahu bagaimana hasil akhirku semester ini. Aku yakin itu tidak akan sebaik yang aku bayangkan dulu. Aku yakin nilai ku akan sangat buruk. Aku bilang aku siap menerima resikonya, tapi ketika aku sudah mulai merasakan kegagalan itu, aku pun merasakan ketidak siapanku.
Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tahu aku akan merasakan sebuah penyesalan nanti, bahwa aku telah bertahan seperti ini saat ini. Aku bertahan dengan ketiada gunaanku ini. Aku mau merugi dan mempertahankan penderitaan dengan hanya memikirkan orang yang malah tidak pernah peduli dan memikirkan bagaimana aku!! Betapa bodohnya aku!!
Disaat situasi yang begitu sulit ini, aku masih merasa beruntung masih memiliki orang-orang yang masih peduli denganku. Mereka itu teman-temanku, sahabat, abang dan adikku, dan juga pacarku. Tapi, aku masih tak mensyukuri semuanya. Karena aku berfikir mereka hanya tahu dan mengerti dan penderitaanku, tapi mereka tidak merasakan itu. Rasanya berat jika aku melibatkan orang lain dalam masalahku. Apalagi pacarku. Dia lah orang yang mempunyai keluarga yang sangat bertolak belakang dengan keluargaku saat ini. Hal itulah yang selalu membuatku jatuh. Karena aku hanya melihat orang-orang yang berada di atasku, aku tidak melihat orang-orang yang berada dibawahku. Dan bagaimana bisa aku untuk tidak iri padanya? Bagaimana bisa??? Dia adalah orang yang selalu menemani hari-hariku, bagaimana bisa???
Kadang aku berfikir, mungkin akan lebih baik untukkku untuk tidak terlalu melibatkan dia ke dalam rumitnya masalah hidupku. Karena aku takut, dia akan menjauh dari hidupku atas kelemahanku saat ini. Aku takut dia akan menjauhi ku atas hancurnya keluarga ku saat ini. Aku takut dia akan berfikir, bagaimana dia akan bisa bahagia denganku bila keluargaku saja seperti ini keadaannya. Aku takut... Karena jauh dari lubuk hatiku, aku membutuhkannya dimanapun dan kapanpun aku ada. Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa memaksakan nya untuk melakukan segalanya yang aku mau karena itu hal yang mustail saat ini. Karena dia belum bisa dan tepat melakukan itu untukku.
Kadang aku malu untuk menceritakan semua masalahku pada siapapun, termasuk pada dia. Aku malu dengan keadaanku yang seperti ini. Aku malu atas kelemahan dan ketidak berdayaanku. Aku malu... aku tak tahu kepada siapa aku harus berbagi? Aku hanya bisa menangis menahan semua penderitaan yang aku alami. Tangisan yang tak berguna itulah teman sehari-hariku saat ini. Kepesimisanku yang merugi itulah yang membimbingku saat ini. Tak habis fikir betapa bodohnya ternyata aku. Bagaimana bisa aku serapuh ini??? Kapan aku akan bangkit??? Siapa yang akan menguatkan aku selain diriku sendiri?????? Siapa??????
Ya Allah... hingga aku pun kadang lupa pada-Mu... aku masih saja meninggalkan perintah-Mu.... aku tahu disini lah letak kekurangan ku...